Secara lughah tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila
illallah.” Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca
kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan
pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia. Biasanya tahlilan
dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan
pada hari ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada
malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya.Bacaan
ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas
ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan
beberapa dalil, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
lainnya;
Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda :
surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang
mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosadosanya. Bacakanlah surat Yasin
kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll)
Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan
bahwa
Bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika
sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.
Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya
tahlil dan do’a, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk
membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdo’a untuk mayit.
Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang
dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah
bahwa, Rasulallah saw pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas
kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di
alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.
Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat
meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an
dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan
lainlainnyaakan lebih bermanfaat bagi si mayit.
Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan
Menghormati tamu memang dianjurkan dalam Islam. Bahkan dalam salah satu
hadits disebutkan bahwa menghormati tamu merupakan artikulasi keimanan
seseorang.
عن أبي هريرة رضي الله
عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل
خيراً أو ليصمت , ومن كان يوم بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن
بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga
dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia
memuliakan tamunya”. [Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]
Bagaimana jika seorang tamu berkunjung dengan niatan berta’ziyah ikut berbela
sungkawa karena kematian seorang anggota keluarga? Tentunya tata cara
penghormatannya juga harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Karena
situasinya sedang berkabung, maka menghormati tamu hendaknya dilakukan dengan
penuh kesederhanaan dan keperhatinan. Berbeda dengan menjamu tamu ketika
berpesta (walimatul urusy atau walimatul khitan).
Namun tradisi yang telah berkembang di sebagian masyarakat justru sebaliknya.
Mereka membuat acara berkabung ini dengan semacam pesta; dengan menyembelih
sapi, atau kerbau ataupun dengan memasak makanan dalam porsi yang besar.
Sehingga keadaan duka itu tidak terasa lagi, bahkan hilang sama sekali. Hal ini
menyebabkan fungsi ta’ziyah sebagai salah satu wahana pengingat mati (tadzkiratul
maut), dengan harapan meningkatkan ketaqwaan tidak tercapai. Bahkan dapat
membebani keluarga sohibul mushibah (yang ditinggal mati), lebih-lebih
jika sohibul mushibah itu keluarga yang kurang mampu.
Begitu juga dengan berbagai macam suguhan yang dihidangkan ketika tahlil selama
seminggu. Sesungguhnya hal itu tidak merupakan kewajiban dan tidak pula sebuah
keharusan. Hal ini perlu dipahami karena seringnya masyarakat menyeleggarakan telung
dino (tradisi memperingati hari ketiga dari kematian) atau mitung dino
(tradisi memperingati hari ke tujuh dari kematian) dengan berbagai macam
makanan dan jajanan.
Oleh karena itu hal ini perlu diluruskan kembali, bahwasannya berbagai macam
tradisi peringatan kematian itu adalah anjuran syari’at Islam. Akan tetapi
berbagai macam makanan dan sesuguhan itu yang selalu dihadirkan bersamaan denga
tradisi tersebut adalah bentuk dari perkembangan tradisi dan harus dipilah-pilah
lagi. Apabila salah memahami bisa-bisa jatuh pada hukum makruh yang harus
dihindari. Misalkan keyakinan bahwa menyuguhkan hidangan/makanan dalam ta’ziyah
atau nelung dino juga mitung dino dengan harus pada hari ketiga atau ke-tujuh
dan tidak boleh pada selain hari itu, hukumnya bisa menjadi makruh.Meskipun
hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu, hendaknya
keyakinan semacam itu didudukkan pada tempatnya.
Hal ini persis dengan yang digambarkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fatati tamuwal
Kubra al-Fiqhiyah:
Dalam ibarat di atas dikisahkan bahwa Imam Ibnu
Hajar ditanya, bagaimanakah hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa
bersama mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur?
Bagaimana dengan yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk
penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang
dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan
pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi
ta’ziyah jenazah? Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar
melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau
melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau
mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala)
akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah
ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam
pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang
menyalurkan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu
bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan
masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas
termasuk bid’ah yang tidak baik, meski tidak sampai pada derajat haram; kecuali
jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk
“meratapi” atau memuji secara berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit.
Hal yang perlu diperhatikan pada saat menghormati tamu yang bertakziyah adalah
jangan sampai memaksakan diri untuk menyajikan hidangan yang berlebihan,
semata-mata agar dianggap pantas oleh orang lain. Hormatilah tamu dengan
hidangan sepantasnya saja, karena sejatinya para tamu memahami kondisi tuan
rumah yang sedang berkabung. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan
pahala setara dengan realisasi perintah Nabi SAW. Kedua, harta yang digunakan
tidak boleh diambil/dikurangi dari tirkah (warisan). Sebab, tirkah
yang belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, karena bisa jadi sebagian dari
ahli waris tidak rela jika tirkah itu digunakan sebelum dibagikan.
Disarikan dari Ahkamul Fuqaha
(Jakarta: Sekretariatan PBNU, 2010).